Rabu, 28 September 2016

28.9.16
Suarapatinews. Pati - Seperti halnya Reza Pahlavi, Soekarno, Soeharto, ia jatuh pada saat masih berada di puncak kekuasaan. Pada saat berkuasa tidak ada yang membayangkan mereka bisa dengan mudah runtuh oleh kekuatan lain yang disebut rakyat.

Dan Ferdinand Edralin Marcos dijatuhkan oleh seorang wanita, Cory aquino. Padahal Marcos sudah memerintah selama 20 tahun dan menancapkan kuku kekuasaan di bumi Filipina dalam-dalam. Nepotisme itulah corak pemerintahan Marcos menjelang akhir kekuasaannya. Sikap dan tindakan Marcos juga semakin menguntungkan pribadi dan keluarganya. Ia bagaikan membangun kerajaan untuk diri sendiri sementara rakyat semakin menderita keamanan sangat rawan dan ketegangan timbul dimana-mana.

Marcos pada tahun 1970-an begitu dikagumi rakyat karena mampu membangkitkan semangat nasionalisme. Tetapi 15 tahun kemudian rakyat berubah antipati terhadapnya. Dulu dengan semboyan “You are Filipo” ia telah membangkitkan semangat cinta produksi dalam negeri. Sedang Marcos sendiri menanggalkan jas dan dasi lalu menggantinya dengan baju barong Tagalog untuk acara-acara penting termasuk acara kenegaraan. Namun seiring dengan itu, Marcos juga melangkah tanpa terkendali. Beberapa tahun sebelum terguling, sesungguhnya rakyat mulai resah mereka sedang menunggu pemicu untuk melakukan perlawanan.



Namun Marcos masih kuat bagai raja diraja di sekelilingnya masih ada orang kuat seperti Jenderal Juan Ponce Enrile dan Jenderal Fidel Ramos yang merupakan pejabat teras Angaktan Bersenjata. Tapi toh pemicu itu datang juga Benigno Servillano Aquino, tokoh oposisi saingan terbesar Marcos pulang dari berobat di Amerika pada 21 Agustus 1983. Beberapa hari sebelumnya, First Lady Filipina, Imelda yang berada di AS sudah membujuk Aquino agar tidak pulang dulu Imelda berjanji membantu memperpanjang visanya.

Tapi Benigno Aquino yang akrab dipanggil Ninoy bersikeras untuk pulang sekali pun ada upaya-upaya pihak pemerintah Marcos untuk menghalanginya. Ninoy sendiri sudah merasa jiwanya terancam. Marcos tentu bisa berbuat apa saja atas dirinya. Dan benar 21 Agustus ketika ia keluar dari pesawat di Bandara Manila, Ninoy diberondong tembakan. Massa yang menjemputnya bergerak tidak beraturan. Ninoy yang luka dibawa pergi. Beberapa saat kemudian ada berita bahwa Ninoy telah gugur. Seorang tokoh demokrasi boleh saja dibunuh tetapi demokrasi tidak akan pernah mati. Itu keyakinan Ninoy maka benarlah, penembakan atas Ninoy menjadi pemisu semangat rakyat untuk melakukan perlawanan, yang kemusian terkenal dengan sebutan “people power”.

Atas dorongan rakyat pula, janda Ninoy, Corazon Aquino yang akrab dipanggil Cory muncul ke permukaan untuk memimpin perlawanan. Pada awalnya memang sulit bukankah ia hanyalah ibu rumah tangga biasa? Tapi rakyat berada di belakang perempuan sederhana ini. Sedikit demi sedikit kekuasaan Marcos tergerogoti, apalgi setelah beberapa pembantu terdekatnya seperti Enrile dan Ramos menyatakan berpihak kepada Cory.

Dan puncak dari “people power” terjadi ketika Kardinal Jaime Sin, pemimpin tertinggi agama Katolik Filipina menyatakan berada di belakang perjuangan Cory menumbangkan kekuasaan Marcos yang diktator. Dengan bergabungnya Kardinal Sin, rakyat semakin percaya bisa mengalahkan Marcos. Keyakinan itu terwujud pada akhir Februari 1986, Marcos terusir dari Filipina dan mengungsi di Honolulu sampai meninggal tiga tahun kemudian.

Memang tragis seperti yang dialami Reza Pahlavi, Amerika yang dulu menjadi sahabat dekatnya tidak mau menampung Marcos seperti Washington juga tidak mau ditempati Reza Pahlavi, Marcos terpaksa tinggal di Honolulu dan Pahlavi di Mesir.

Tragisnya lagi, Ferdinand Marcos yang 3 tahun sebelumnya masih sangat berkuasa, pada saat menghembuskan nafas terakhir hanya ditunggui Imelda, puteri bungsunya, Irene Araneta dan putera tunggalnya, Ferdinand Jr. Tidak satu pun orang penting atau sahabat –sahabat dekatnya. Dan yang datang melayat hanya para pendukungnya, orang-orang biasa. Tidak ada teman dekatnya miliader wanita Doris Duke yang dulu pernah meminjam kapal terbang kepada Imelda. Juga tidak ada Imelda Papin penyanyi terkenal yang dulu selalu menemani Imelda Marcos pergi kemana-mana. Saat itu Marcos benar-benar bernasib seperti orang “buangan”. Sebenarnya rakyat Filipina mulai resah melihat berbagai tindakan Marcos sejak ia mengumumkan negara dalam keadaan darurat perang 21 September 1972.

Tindakan tersebut benar-benar mengejutkan tidak saja rakyat Filipina, tetapi banyak negara demokrasi di dunia. Mereka terkejut, Filipina yang bertahun-tahun menganut demokrasi gaya barat tiba-tiba berubah drastis. Barangkali Marcos ingin menghilangkan berbagai ketegangan dengan undang-undang baru itu. Marcos mulai jengkel terhadap kaum oposisi yang selalu merongrong pemerintahan keduanya tahun 1970. Demonstrasi kelompok oposisi memang nyaris tidak pernah berhenti. Kaum penentangnya melihat UU Darurat Perang itu adalah cara Marcos untuk memerintah dengan tangan besi.

Ketegangan menjadi amat memuncak ketika Marcos menuduh lawan-lawan politiknya telahbekerjasama dengan Tentara Rakyat Baru yang Marxis Maois untuk menjatuhkan pemerintahan. Ketegangan antara pemerintah dengan pihak oposisi terus berlangsung. Benigno Aquino, tokoh oposisi terkemuka, saingan Marcos terkuat, makin sering saling caci dan melemparkan tuduhan. Tanggal 12 September 1972 sebuah bom meledak di Balai Kota Quezon tidak bisa dinuktikan siapa pelaku dan dalangnya.

Di hari berikutnya Presiden Marcos mengumumkan UU Darurat Perang. Sang presiden mengatakan bahwa UU tersebut sudah sesuai dengan konstitusi, sebagi pelaksanaan prinsip mempertahankan diri. Di tahun itu juga Senator Benigno Aquino alias Ninoy ditangkap. Kemudian referendum diselenggarakan untuk mengubah konstitusi Filipina yang sudah diberlakukan sejak tahun 1935.

Kata Marcos, konstitusi itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Bangsa Filipina. Konflik yang berkepanjangan antara eksekutif dan legislative harus dihentikan. Dan apa yang diketahui kemudian, referendum-referendum itu sesungguhnya untuk memperkuat kedudukan eksekutif. Tidak lain adalah kedudukan Marcos sendiri.

Ketegangan antara pemerintah Marcos dengan kaum oposisi tidak pernah berhenti samapai menjelang Pemilu 1978. Memang dibanding Pemilu 1972, kali ini sedikit lebih tenang. Namun beberapa tokoh terkemuka Filipina seperti mantan presiden Macapagal, mantan Senator Jovito Salonga, mantan Senator Gerado Roxas menilai, Pemilu tersebut tidak lebih dari sebuah rekayasa. Mereka pun enggan untuk mencalonkan diri menjadi pesaing Marcos. Dan memang benar pasca Pemilu 1978, kedudukan Marcos bertambah kuat, sampai beberapa tahun kemudian. Tetapi tertembaknya Ninoy di Bandara 21 Agustus 1983, menjadi awal kejatuhan Marcos. Mayoritas rakyat Filipina berubah menjadi sangat membenci Sang Presiden. Apalagi mereka menyaksikan Nyonya Imelda hidup mewah dan berfoya-foya di Istana Malacanang. Kekuasaan Marcos menjadi luluh lantak menghadapi Cory, janda Ninoy yang tampil ke permukaan memimpin perlawanan rakyat. Pemerintah Marcos tidak mampu menghadapi kekuatan rakyat yang bagaikan gelombang raksasa menyapu pantai. Akhirnya ia menyerah dan bersama Imelda, istri tercintanya pergi dari bumi Filipina yang dicintai. Imelda Romualdez Marcos yang selama 20 tahun hidup dengan kemewahan, tiba-tiba merasa terpencil di pengasingan. Namun mereka yakin cepat atau lambat akan kembali ke Filipina. Hal itu wajar, sebab meski Marcos telah jatuh ia masih punya pengikut bahkan bisa dibilang tidak sedikit. Para imigran di Hawai masih tetap mengunjunginya. Toh impian untuk kembali ke Filipina itu tidak kunjung menjadi kenyataan, sampai Marcos meninggal di tanah pengasingan dalam kesunyian.Ada pandangan yang menarik baik dari Marcos maupun Imelda terlepas benar atau salah. Rupanya setelah pemerintahannya yang pertama Marcos sudah merancang sebuah pemerintahan diktator. Sebuah dokumen ditemukan, yang menggambarkan pandangan-pandangan Marcos dan Imelda tentang sebuah pemerintahan yang kuat. (ROY)

0 komentar:

Posting Komentar